Bukan semata-mata soal gincu tebal dan tubuh sintal yang dijual para wanita binal di sana, bukan pula tentang lelaki hidung belang yang ketagihan menenggelamkan dirinya dalam kenikmatan semu, juga bukan tentang permufakatan jahat para mucikari alias germo alias GM dengan para kaki tangannya yang telah tersebar hingga ke desa-desa pelosok itu. Pun bukan pula tentang bagaimana dunia setan ini telah menyumbang berjuta-juta rupiah ke kas negara, namun tak pernah ada yang menggugatnya.
Nun di antara pekatnya lembah hitam di kawasan Putat Surabaya itu, tersembul banyak harapan (meski sulit jadi kenyataan), ada juga suara-suara mengutuk: Jamput, kok iso aku nang kene rek!
Itu pula yang sempat berkecamuk di dada Ana dan Ani (nama samaran). Ana, 19, mulanya adalah gadis baik-baik asal salah satu kabupaten di jawa timur. Lepas dari SMK, dia sempat kerja di sebuah toko di Kota Malang. Gajinya tak seberapa, tapi untuk remaja yang baru lulus dari sekolah, uang itu cukup bagi dirinya untuk sedikit bergaya. Sejenak, masa depannya seakan tanpa cela. Pikirnya, nabung sedikit demi sedikit, lantas punya toko sendiri di rumah, bisa jadi modal mengarungi hidup.
Tapi, putaran nasib memang tak dapat diterka. Bosnya menutup usaha toko baju tak seberapa besar itu. Alasannya, semua aset bakal dilego untuk bayar utang. Si Bos tak sungkan mengaku bangkrut karena kalah main judi dan valas. Alhasil, jadilah Ana tanpa pekerjaan. Sungguh sial, dalam ketidakpastian itu, bapak dan ibunya bercerai. Situasi ini sempat membuat psikologis gadis setinggi 163 cm, berambut lurus hitam sebahu, dan berdada 36 itu goncang. Namun, tak sampai sebulan, Ana bangkit dari keterpurukan. Dia sadar bahwa hidup harus berlanjut. Berbekal ijazah SMK itu, dia kembali berburu kerja. Kesana-kemari, tak juga ada yang nyangkut.
Di saat hampir putus asa, Ana tanpa sengaja berjumpa pria, yang dia ingat teman bosnya dulu. Pria berkulit gelap itu menawarkan kerja. Katanya, “Jaga toko di Surabaya. Gajinya lumaya lho.” Kipasan rupiah itu membuat Ana silau. Tanpa pikir panjang diterimalah pekerjaan (yang kelak mengubah hidupnya selamanya) itu. Alih-alih jadi gadis metropolis, Ana telah diterkam mafia Dolly. Pria itu tak lebih dari seorang makelar yang dapat komisi dari GM bila dapat wajah baru. Apa lacur, tangis pun tak ada artinya. Mau pulang tak ada duit. Mau pergi tak tahu arah. Akhirnya, jadilah Ana bagian dari gemerlap Delta Lima (sebutan lain Dolly) yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ana marah, Ana berontak, sayang… tangannya yang lencir nan kuning langsat itu tak memiliki daya untuk melawan.
Hampir setahun dia terperangkap. Anehnya, 365 hari ternyata cukup untuk mengubah segalanya. Dia kini justru menikmatinya. ”Saya tahu ini nista, tapi saya tak bisa kerja lain. Lagian, cari kerja juga susah. Entahlah nanti kalo udah umur-umur 30, buka toko aja di rumah,” katanya, enteng*.
Mungkin karena telah jadi bagian dari keluarga besar Dolly itu, Ana tanpa ragu mengajak Ani, adik sepupunya yang tiga tahun lebih muda darinya (busyet!). Ani, tak berbeda dengan Ana, awal mulanya adalah gadis baik-baik. Dia tinggal di Jember dari keluarga biasa-biasa saja. Karena bujuk rayu Ana, dia pun pergi ke Surabaya. Singkat cerita, dia bahkan satu wisma dengan Ana, kos bareng, dan beberapa kali punya pelanggan sama..
Fenomena Ana dan Ani bukan rekaan. Di beberapa wisma, baik di Dolly, di lokalisasi Jarak, dan Moroseneng, memang ada PSK yang masih saudara alias bertalian darah. Ada yang kandung (tapi jaraaang banget, ada juga yang sepupu, ipar, dll, pokoknya mengandung persaudaraan/brotherhood). Ada yang datang seperti yang terjadi pada Ana dan Ani, ada juga yang dua-duanya terjebak perangkap maut makelar Dolly.
Sumber : http://zenteguh.wordpress.com/
Cerita ini membuat hati miris, bahwa di negeri ini untuk dapat pekerjaan halal begitu sulitnya. intinya adalah uang, uang, uang dan uang. Hidup memang butuh uang.
ReplyDeletekalau ada 1 aja negeri yang pantas disebut neraka dunia maka tempat itu adalah negeri ini. kemiskinan dimana mana dan maksiat di mana mana (ADA photo yang lain ngak / Guuuubraaaak)
ReplyDelete